Skip to content

    Sejarah Gereja Ortodoks

    Pr. Thomas Fitzgerald

    Gereja berasal dari Yesus Kristus dan Roh Kudus, bukan dari seorang guru manusia, atau kelompok, atau kode etik, atau falsafah agama. Ortodoksi percaya bahwa Gereja berasal dari Komunitas Apostolik yang dipanggil oleh Yesus Kristus, dan dihidupkan oleh Roh Kudus. Pesta Pentakosta, yang dirayakan lima puluh hari setelah Paskah, memperingati “pencurahan” Roh Kudus ke atas para Rasul dan menandai dimulainya misi Gereja kepada dunia. Gereja Ortodoks percaya bahwa ia telah mempertahankan kesinambungan langsung dan tak terputus dari cinta, iman, dan ketertiban dengan Gereja Kristus yang lahir dalam pengalaman Pentakosta tersebut.

    Era Penganiayaan

    Gereja awal, sebagaimana digambarkan dalam surat-surat dan Kisah Para Rasul, tidak membatasi dirinya di tanah Yudea. Gereja ini dengan sangat serius menjalankan perintah Tuhan kita untuk pergi ke seluruh dunia dan memberitakan Injil. Sabda Kristus dan peristiwa Wafat dan Kebangkitan-Nya yang menyelamatkan itu tidak hanya diperuntukkan kepada orang-orang abad pertama dan dunia Mediterania saja, tetapi juga kepada semua orang di setiap tempat dan semua zaman. Hanya dalam beberapa tahun saja setelah Kebangkitan, kantung-kantung Kristen bermunculan di kota-kota besar Kekaisaran Romawi.

    Sementara Gereja awal menerima banyak petobat dari Yudaisme dan agama-agama kafir, dunia tempat dimana Injil diberitakan, yang disebut oleh Rasul Paulus sebagai “jahat dan kejam.” Dengan beberapa kali masa damai yang singkat, Gereja mengalami aniaya diseluruh Kekaisaran selama hampir tiga ratus tahun. Iman dan kasih yang diungkapkan oleh orang-orang Kristen dilihat sebagai ancaman bagi agama dan kebijakan politik Kekaisaran. Ribuan umat Kristen pun martir.

    Era Pertumbuhan

    Awal abad keempat menandai tahapan baru dalam perkembangan Gereja. Setelah berabad-abad mengalami penganiayaan yang keji dari pihak Romawi, seorang Kaisar akhirnya menjadi Kristen. Dia adalah Konstantinus Agung, yang pada tahun 313 memberikan kebebasan bagi umat Kristen untuk beribadah. Dekrit ini merupakan pengakuan bahwa Gereja bukan hanya telah selamat dari penganiayaan tetapi juga telah menjadi suatu kekuatan yang signifikan dalam Kekaisaran Romawi. Sejak saat itu, Gereja dan Kekaisaran memulai hubungan yang sangat dekat dan saling menguntungkan. Gereja bukan hanya menerima dukungan pihak kekaisaran, berbagai kekejian yang menjadi ciri khas Kekaisaran Romawi kuno pun menjadi sangat berkurang dalam Bizantium yang Kristen. Gereja benar-benar menjadi ragi dari masyarakat tempat di mana ia berada. Abad keempat hingga abad kesepuluh menjadi periode yang signifikan bagi perkembangan internal Gereja dimana konten otoritatif dari Perjanjian Baru ditentukan, ibadat-ibadat mendapatkan kerangka kerja formalnya, dan ajaran-ajaran Kekristenan dikembangkan oleh para penatua dan teolog besar yang dikenal sebagai “Bapa-bapa” Gereja. Masa ini juga merupakan era misi, dimana di antara mereka, tokoh-tokoh terpenting adalah penginjil bangsa Slavia, Ag. Kiril dan Metodius. Akan tetapi, periode ini bukanlah era tanpa perjuangan. Kekaisaran Bizantium terus berjaga menghadapi kekuatan Persia dan kaum Muslim. Selain itu Gereja juga dilanda perpecahan dan bidat-bidat. Perpecahan yang serius terjadi pada tahun 431 dan 451, sementara, bidat–bidat terbesar, salah satu diantaranya adalah Arianisme yang mengajarkan bahwa Kristus bukanlah Allah sejati, menjangkiti Gereja dan membawa malapetaka bagi Kekaisaran selama sekitar satu abad.

    Ajaran-ajaran dasar Gereja diproklamirkan dan dipertahankan oleh Tujuh Konsili Ekumenikal. Sinode-sinode ini, yang digelari dengan nama kota tempat dimana mereka dilaksanakan, diisi oleh para Uskup yang datang dari seluruh penjuru dunia yang untuk menegaskan ajaran-ajaran asli mengenai Inkarnasi dan Tritunggal Mahakudus. Konsili-konsili ini tidak menciptakan ajaran-ajaran baru, melainkan menyatakan, pada tempat dan waktu tertentu, apa yang selalu diimani dan diajarkan oleh Gereja. Ekspresi konsiliar dan kolegial dari kehidupan dan otoritas Gereja, yang diwujudkan dalam Konsili Ekumenikal dan sinode-sinode lainnya dalam Gereja awal, terus menjadi aspek yang penting dari Ortodoksi.

    Konsili-konsili Ekumenikal ini juga memberikan persetujuan mereka terhadap pengorganisasian Gereja ke dalam lima pusat agung gereja, yaitu Roma, Konstantinopel, Alexandria, Antiokhia, dan Yerusalem. Uskup Agung dari kota-kota tersebut kemudian dikenal sebagai Patriark dan mereka memimpin sinode episkopal dari wilayah tertentu. Karena Gereja awal tidaklah monolitik, maka setiap pusatnya memiliki gaya berteologi, adat istiadat, dan tradisi liturgisnya sendiri-sendiri. Meskipun demikian, semuanya berbagian dalam iman yang satu. Akan tetapi, sejak masa-masa yang paling awal, keutamaan kehormatan diberikan kepada Uskup Roma. Konsili Ekumenikal Kedua (381) memberikan Konstantinopel sebuah posisi kehormatan dengan menyatakan, “Uskup Konstantinopel hendaknya memiliki hak kehormatan prerogatif setelah Uskup Roma, sebab Konstantinopel adalah Roma Baru.”

    Skisma Besar

    Skisma Besar adalah sebutan yang diberikan kepada perpecahan antara Gereja Barat (Katolik Roma) dan Gereja Timur (Ortodoks), yang terjadi pada abad kesebelas. Hubungan antara dua tradisi besar di Timur dan Barat ini kerap menglami ketegangan sejak abad keempat. Namun, kesatuan dan keharmonisan tetap terjaga meskipun ada perbedaan dalam hal ekspresi teologis, praktik liturgis, dan cara pandang yang berbeda mengenai otoritas. Namun, pada abad kesembilan, perbedaan-perbedaan yang awalnya sah semakin menguat oleh karena situasi politik, pertentangan budaya, klaim-klaim kepausan, dan penyisipan frase Filioque ke dalam Pengakuan Iman Nikea di Barat. Filioque menegaskan bahwa Roh Kudus berasal dari Sang Bapa dan Putera. Baik klaim kepausan maupun Filioque, keduanya ditolak mentah-mentah oleh pihak Timur.

    Meskipun sulit untuk menentukan titik pasti dari perpecahan tersebut, pada tahun 1054 tuduhan resmi yang dikenal sebagai “Anathema”, saling dilemparkan oleh keduabelah pihak. Pecahnya Perang Salib, dan utamanya pengepungan Konstantinopel oleh tentara salib pada tahun 1204, dapat dianggap sebagai unsur terakhir dalam keterasingan dan kecurigaan yang semakin tajam.

    Sejak saat itu, Gereja Barat yang memusat pada Paus Roma dan Gereja Timur yang berpusat pada Patriark Konstantinopel berpisah. Meskipun ada upaya untuk memulihkan persekutuan pada tahun 1274 dan 1439, tidak ada persatuan langgeng yang tercapai. Meskipun faktor politis, budaya, dan emosional selalu terlibat, Gereja Ortodoks percaya bahwa dua alasan utama dari perpecahan ini adalah klaim kepausan terhadap yurisdiksi universal dan infalibilitasnya, dan pengertian dari Filioque.

    Selama hampir 500 tahun, kedua tradisi ini hidup dalam isolasi formal satu sama lain. Barulah pada awal tahun 1960-an berbagai langkah telah diambil untuk memulihkan persatuan yang telah rusak. Yang paling signifikan disini adalah pencabutan bersama terhadap “Anathema” tahun 1054 oleh mendiang Patriark Athenagoras dan Paus Paulus VI pada tahun 1965.

    Era Perjuangan

    Pada tahun 1453, Kota Konstantinopel jatuh ke tangan kaum Muslim. Dengan jatuhnya ibu kota Konstantinopel, Kekaisaran Bizantium pun berakhir dan wilayah-wilayah yang luas di Asia Kecil jatuh ke tangan non-Kristen. Kota-kota besar pusat gerejawi seperti Alexandria, Antiokhia, dan Yerusalem, yang telah lama berada di bawah kendali politik Islam berabad-abad sebelumnya, digabungkan dengan Konstantinopel. Di seluruh Kekaisaran Ottoman, umat Kristen diperlakukan sebagai warga negara kelas dua yang wajib membayar pajak yang tinggi dan mengenakan pakaian khusus. Akan tetapi, kehidupan Gereja di daerah Balkan dan Asia Kecil tetap berjalan sekalipun menghadapi banyak tekanan. Ribuan orang Kristen menderita sebagai martir. Para pemimpin gereja digulingkan dan dibunuh. Gereja-gereja, biara-biara, dan sekolah-sekolah ditutup dan dihancurkan. Hanya dengan pembebasan Yunani pada tahun 1821 lah beberapa kebrutalan berhasil diakhiri. Namun, tetap ada serangkaian pembantaian keji pada awal abad ini. Bahkan sampai saat ini, di beberapa daerah Asia Kecil, orang-orang Kristen tidak mendapatkan hak-hak asasi mereka

    Setelah runtuhnya Bizantium, Gereja di Rusia berkembang pesat selama hampir 500 tahun. Namun, akibat pecahnya revolusi Bolshevik pada tahun 1917, Ortodoksi mendapati dirinya dihadapkan pada keyakinan dan kebijakan politik kaum ateis militan. Sebagian besar gereja ditutup dan diresmikan kebijakan untuk melenyapkan agama Kristen dari Rusia, sebuah negeri yang kaya akan Ortodoksi sejak abad kesepuluh. Pada tahun-tahun di antara dua Perang Dunia, umat Kristen Ortodoks di Rusia mengalami penganiayaan yang sangat kejam dan menghancurkan. Baru pada tahun 1943-lah terjadi perubahan dalam kebijakan pemerintah yang memungkinkan Gereja tetap dapat eksis.

    Di banyak negeri yang dahulu kala pernah membanggakan kemuliaan Kekristenan Timur, Gereja Ortodoks kini bergumul di tengah rintangan dan penganiayaan yang hebat. Kita telah mengamati bahwa dalam beberapa abad terakhir ini terdapat lebih banyak martir dibanding masa penganiayaan besar pada masa Gereja awal. Akan tetapi, ditengah ketidakadilan dan penghinaan, Iman tetap bertahan.

    Era Pembaharuan dan Rekonsiliasi

    Sejak awal abad ini, Gereja Ortodoks telah berkomitmen pada Gerakan Ekumenis. Upaya bagi persatuan dunia Kristen ini merupakan serangan yang paling berani terhadap perpecahan sejak abad-abad awal Gereja. Patriarkat Konstantinopel tidak hanya mengilhami gerakan persatuan ini melalui sebuah ensiklik pada tahun 1920, tetapi juga menjadi salah satu pendiri Dewan Gereja Dunia pada tahun 1948. Penggagas persatuan Kristiani ini merupakan perhatian khusus dari mendiang Patriark Athenagoras yang tercinta. Dia bekerja keras untuk mempromosikan kolegialitas yang diperbarui di antara berbagai Gereja Ortodoks, dan meresmikan dialog yang benar dengan Gereja Katolik Roma. Pada tahun 1968, Patriark memandang masa depan dan menyatakan: Semoga Tuhan yang penuh belas kasihan sesegera mungkin mengirimkan rahmat merayakan Ekaristi Ilahi secara baru serta untuk pemulihan komuni bersama kepada Gereja-Gereja Timur dan Barat yang kudus. Cawan bersama nampak bersinar terang di cakrawala Gereja.


    Artikel ini disadur dari serangkaian pamflet yang ditulis bagi umat non-Ortodoks, terutama mereka yang sedang mempertimbangkan untuk menjadi anggota Gereja Ortodoks dan ingin memperdalam apresiasi mereka terhadap iman, ibadah, dan tradisinya. Pamflet-pamflet tersebut ditulis oleh Fr. Thomas Fitzgerald, seorang pengajar di Hellenic College-Holy Cross Greek Orthodox School of Theology.

    1. Introduction – Introduces the non-Orthodox to Orthodox Christianity.
    2. House of God – Describes the interior of the church building.
    3. Worship – Discusses the form and characteristics of Orthodox worship.
    4. Liturgy – Describes the meaning and celebration of the Eucharist.
    5. Sacraments – Describes the meaning and importance of liturgical life.
    6. Special Services and Blessings – Describes the non-sacramental services which contribute to spiritual life.
    7. Teachings – Outlines the salient points of doctrine and basic credal affirmations.
    8. Spirituality – Discusses the meaning of theosis as the goal of Christian life.
    9. History – Sketches the great epochs of Orthodoxy.
    10. The Church – Outlines the procedure for becoming a member of the Orthodox Church.